Minggu, 12 Maret 2017

Handphone Baru Dari Bapak -Part IV




“BAPAK!!!!!” Andin masuk ke rumah setelah pulang sekolah, lalu langsung berteriak memanggil bapaknya. “BAPAK DI MANA SIH?!” teriaknya lagi sambil mengacak-acak rambutnya kesal. “Di mana sih dia?! Katanya janji mau  beliin gue HP baru dalam dua minggu ini, tapi sekarang apa? ini udah hari terakhir perjanjian, dan sekarang dia malah ngilang!!!!” dumelnya kesal.
Lalu Andin pergi ke dapur, dan membuka tudung saji. “Apa-apaan, sih, ini? Ini kan makanan bekas pagi, kenapa masih disimpen?” gerutu Andin, lalu ia melempar tudung saji itu.Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu.
Andin langsung pergi untuk membukakan pintu itu, karena dia pikir itu adalah bapaknya.
Tapi, setelah pintu terbuka, ternyata itu bukan bapaknya.
“Deni?” Andin sedikit terkejut saat tahu kalau yang datang adalah Deni.
“Andin...”
“Lo ngapain di sini?”
“Lo mau ketemu sama bokap lo nggak?”
Andin tertawa remeh, “Maksud lo apaan sih? Ngapain juga lo nanya gitu, tiap hari juga gue ketemu dia.”
“Andin ... bokap lo enggak bisa pulang kalau lo enggak nemuin dia.”
“Deni, plis, kalau ngomong itu yang jelas dikit kenapa!” kata Andin. “Emangnya dia di mana, sih? Ribet banget, deh.”
“Bokap lo ... dia di rumah sakit sekarang.”
Andin terdiam mematung. Wajahnya mulai menegang.
“Di rumah sakit? Ngapain dia di rumah sakit?”
“Bahkan, saat gue ngasih tahu lo kalau bokap lo di rumah sakit, lo tetep enggak ada rasa khawatir sedikit pun, Ndin?”
“Deni! Maksud lo apa, sih, gue enggak ngerti?!”
Deni geram, akhirnya ia berkata dengan sedikit keras pada Andin.
“Andin! Bokap lo itu meninggal! Dan jenazahnya ditahan di rumah sakit karena bokap lo butuh lo buat menandatangani dokumen-dokumennya! Puas lo? ngerti sekarang?!”
Sekujur tubuh Andin melemas saat itu juga.
[.]

Pemakaman bapak baru saja selesai, semua pelayat sudah beranjak meninggalkan area makam. Kecuali Andin. Gadis itu masih menangis, terduduk sambil memeluk nisan bapak.
Dulu, Andin bahkan enggan memeluk bapak karena tubuh bapak yang selalu bau keringat. Andin enggan memeluk bapak seperti teman-temannya memeluk ayah mereka masing-masing, ketika acara kelulusan SMP mendapat nilai tertinggi kedua sesekolah. 

Dulu, ketika bapak masih hidup, ketika tubuh ringkih bapak masih bisa dilihat oleh mata, Andin enggan meskipun hanya menyentuh telapak tangannya sekadar menyalami bapak.Andin merasa malu jika teman-temannya tahu dia punya ayah seperti bapak.
Sekarang, setelah gundukan tanah itu mengubur tubuh bapak, Andin baru menyadari bahwa ia ingin sekali bapak ada di sini, ia ingin sekali memeluk tubuh bapak yang sudah renta itu, ia ingin sekali mengusap keringat bapak setiap bapak pulang narik becak dengan keadaan lelah.
Sekarang, hanya untuk melihat wajah bapak saja, Andin sudah tidak akan pernah bisa lagi. 
Andin tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa bapak. Siapa nanti yang akan mengurusnya, membangunkannya untuk sekolah, dan menyiapkan sarapannya?
Tangisannya semakin deras ketika dia mengingat perlakuannya pada bapak dulu, perkataannya yang sering menyakiti hati bapak, tapi bapak tidak pernah membencinya.
“Andin, kita pulang, yuk? Ada sesuatu yang mau kasih sama lo, titipan dari bapak,” tanya Deni, yang masih setia menunggu Andin di sini. Lalu dia meraih pundak Andin, untuk menuntunnya berdiri.

[.]

            Sekarang, Andin sedang berada di kamar bapak. Dia terduduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya. Di hadapannya sudah ada sebuah bungkusan plastik besar berbentuk kotak yang diberikan Deni tadi siang.
“Andin, ini dari bokap lo.” Deni memberikan sebuah bungkusan pada Andin.
“Ini apa, Den?”
“Gue mau lo liat aja sendiri isinya apa,” jawab Deni. “Bungkusan ini, yang ada di samping bokap lo waktu dia kecelakaan, dia minta gue untuk kasihin ini ke lo.”
Andin mengambil bungkusan itu. Tapi, dia memutuskan untuk nanti saja membukanya.
Andin meraih bungkusan itu, lalu pelan-pelan ia membukanya. Tangisnya langsung pecah begitu ia melihat isinya.
“Ini ... HP baru dari bapak,” ucap Andin, suaranya bergetar karena tangisnya. Sebuah ponsel baru yang dia inginkan selama ini, sudah berada di genggamannya. Dan ponsel baru itu adalah benar-benar pemberian dari bapaknya.

            “Ternyata ... bapak enggak ingkar janji. Bapak ... bapak beneran beliin aku HP baru,” ucapnya sambil memandangi ponsel baru itu di sela tangisannya.
Dia memeluk ponsel baru dari bapak itu sambil terus menangis. Menangis seakan tidak akan pernah berhenti. Andin menyesal. Andin menyesal karena pernah menyusahkan bapak karena keinginannya tersebut. Dia lalu mengingat saat-saat itu, saat-saat menyakitkan bagi bapak yang tidak pernah ia sadari.
“Ya makanya bapak cari kerja lain kek, jangan cuma jadi tukang becak!” kata Andin. “Aku tuh capek tahu nggak sih, Pak! Aku tuh sebenernya capek hidup miskin kayak gini. Aku capek hidup sama bapak! Gara-gara bapak miskin aku sering dihina temen-temen aku, gara-gara bapak miskin, aku enggak bisa kayak temen-temen aku!”
Air matanya mengalir semakin deras, ketika Andin mengingat kata-katanya pada bapak waktu itu.
“Percuma aku punya bapak, kalau hidup aku selalu miskin kayak gini! lebih baik aku itu nggak punya bapak!”
“Enggak, Pak. Andin salah. Andin nyesel pernah ngomong kayak gitu sama bapak. Andin enggak mau bapak pergi. Andin enggak mau ditinggalin bapak. Andin enggak tahu gimana hidup Andin tanpa bapak. Bapak... maafin Andin.”
Andin sadar sekarang, dia selalu memandang bapak dengan sebelah mata. Andin hanya memandang bapak sebagai orangtua miskin yang sama sekali tidak pantas untuk dibanggakan.
Andin menyesal. Dia menyesal pernah malu punya orangtua seperti bapak. Padahal, bapak tidak pernah malu punya anak pembangkang seperti Andin. Perjuangan bapak selama ini untuk membahagiakannya, tidak akan pernah bisa Andin bayar lunas. Andin belum sempat berbakti pada bapak, Andin belum bisa membahagiakan bapak. Karena sekarang, semuanya sudah terlambat. Bapak sudah pergi untuk selamanya.

---TAMAT--- 
[R.A]

0 komentar:

Posting Komentar

Menu :