Minggu, 12 Maret 2017

Handphone Baru Dari Bapak -Part III




Hari berjalan semakin cepat. Hingga pada akhrinya, bapak tiba di hari ini. Hari ke empat belas. Hari terakhir yang Andin berikan pada bapak untuk menepati janjinya.
Dan siang ini, tepat jam sebelas, bapak pulang ke rumah setelah narik becak dari pagi. Bapak memasuki kamarnya, lalu ia mengambil lima buah celengan ayamnya, celengan yang berisi hasil kerja bapak selama hampir empat bulan ini.
Bapak memecahkan kelima celengan tersebut. Sebenarnya, tiga celengan lainnya adalah tabungan untuk biaya sekolah Andin. Tapi, ia berpikir kalau uang itu bisa ia cari lagi, yang penting sekarang Andin harus melanjutkan sekolahnya dulu. Bapak tidak mau Andin berhenti sekolah hanya karena ia ingin ponsel baru. Bapak sedikit sedih, saat melihat bahwa isi kelima celengannya itu. Bapak menghembuskan napasnya panjang. Ia berusaha untuk yakin kalau semua uang tersebut cukup untuk membeli ponsel baru untuk Andin. Lalu, bapak mengumpulkan dan menyusun uang itu jadi satu.

Karena saking semangatnya, ingin cepat-cepat membelikan Andin ponsel baru, bapak langsung membawa uang itu ke toko ponsel tanpa dihitung terlebih dulu.Tapi sayangnya, toko ponsel letaknya jauh dari rumah. Dan dari pada uangnya bapak pakai untuk ongkos, bapak memilih untuk jalan kaki menuju tempat tersebut.

[.]
Sumbe Gambar

Bapak tiba di sebuah toko ponsel besar di suatu pasar swalayan, setelah jalan kaki selama satu jam lebih. “Permisi mbak,” sapa bapak pada mbak penjaga toko.
Mbak itu menghampiri bapak, lalu berkata dengan ramah, “Iya, bapak. Ada apa, ya?”
Bapak tersenyum tipis, sambil melihati beberapa ponsel di etalase yang bapak yakini pasti Andin suka dengan ponsel itu.
“Saya mau beli HP yang bagus... ada internetnya... terus juga ada kameranya, Mbak. Buat anak saya,” kata bapak pelan, sambil tersenyum.
“Oh begitu ya, Pak,” kata mbak penjaga toko. “Sebentar ya, Pak. Saya ambilkan lebih dulu.” Mbak penjaga toko mengambilkan sebuah ponsel pintar yang harganya paling murah di toko itu. Lalu ia meletakkannya di atas etalase dan menunjukkannya pada bapak.
“Seperti ini, Pak?”
Bapak melihat ponsel yang masih terbungkus plastik dengan mata yang berbinar.
“Bagus ya, Mbak. Anak saya pasti suka. Ada kameranya juga,” kata bapak. “tapi, kira-kira harganya berapa, mbak?”

Mbak itu menatap bapak dengan tatapan tidak tega kalau harus memberitahu harga ponsel tersebut. Melihat kondisi bapak yang sangat menampilkan keadaan orang-orang tidak mampu. Tapi, mau tidak mau, bapak harus tahu harganya.
“Ini harganya delapan ratus lima puluh ribu, Pak,” jawab mbak penjaga toko. “memangnya kalau boleh tahu, bapak punya uangnya berapa?”

Bapak mengeluarkan sebuah kantung plastik hitam dari saku celananya. Dia menumpahkan seluruh isi kantung plastik hitam itu di atas etalase. Mbak penjaga toko itu sampai menelan ludahnya melihat apa yang baru saja bapak tumpahkan dari kantung plastik hitam itu.
“Ini uang saya, Mbak. Belum saya hitung,” kata bapak lirih. “Kira-kira cukup tidak ya, mbak?”

Mbak penjaga toko malah terdiam menatap kepingan-kepingan uang logam, lembaran-lembaran dua ribuan dan beberapa lembaran uang lima ribu di atas etalase itu. Sesekali mbak itu menatap bapak, yang saat itu sedang melihati ponsel seharga delapan ratus lima puluh ribu itu dengan penuh harap.
“Pak...”panggil mbak penjaga toko pelan. “Kenapa bapak ingin sekali membeli HP ini?”
“Anak saya ingin sekali punya HP baru, Mbak.”
“Memangnya kenapa kalau tidak bapak belikan?”
“Nanti, dia tidak mau sekolah. Jadi saya harus nurutin apa mau dia,” jawab bapak.

Mbak penjaga toko itu menutupi hidung dan mulutnya dengan telapak tangan. Kedua matanya tanpa sadar sudah berair. Dia terharu. Hatinya teriris melihat dan mendengar apa yang terjadi dengan pria tua yang berusaha untuk memenuhi keinginan anaknya. Meskipun, dia tahu, kalau dia tidak mampu. Tapi dia tetap yakin, dia bisa.
“Sebentar ya, Pak,” kata mbak itu. “Saya bantu hitung uang bapak.”
Mbak penjaga toko itupun mulai meraih lembaran demi lembaran uang dua ribu dan  lima ribuan itu untuk dihitung, sambil berusaha untuk menahan agar dia tidak menumpahkan rasa ibanya saat itu juga.

Setelah lebih dari tiga puluh menit menghitung uang bapak, yang ternyata hanya berjumlah lima ratus  tujuh puluh lima ribu lima ratus rupiah itu, mbak penjaga toko terdiam sejenak.
“Bagaimana, mbak? Uang saya cukup?” tanya bapak lirih.
“Pak... kalau bapak tidak membelikan HP-nya sekarang, apa reaksi anak bapak nanti?’
Gurat wajah bapak berubah sendu, “Dia pasti akan marah sama saya, tapi itu tidak masalah buat saya, Mbak. Saya cuma tidak  mau dia berhenti sekolah. Tapi... kalau memang uang saya tidak cukup sekarang, tidak apa-apa, mbak. Saya mengerti.”
Mbak penjaga toko menggeleng pelan. “Uang bapak cukup, kok,” katanya bohong. “Bapak bisa bawa pulang HP ini, dan berikan pada anak bapak, ya. Semoga anak bapak bisa senang ya, karena punya bapak hebat yang bisa menuruti apa yang dia mau.”
Dengan senyum yang mengembang, bapak menerima ponsel baru tersebut yang telah dikemas oleh mbak penjaga toko itu. “Terima kasih banyak, mbak. Terima kasih,” kata bapak haru.

Bapak senang sekali rasanya. Sampai dia ingin menangis bahagia. Bapak sudah tidak sabar untuk pulang, dan memberikan ponsel baru ini pada Andin. Andin pasti senang. Bapak juga tidak sabar melihat kebahagiaan Andin saat tahu bapaknya sudah beli ponsel baru untuknya.  Bapak pulang ke rumah dengan jalan kaki lagi. Karena ia pikir, ongkosnya pulang ke rumah lebih baik untuk membelikan anaknya makan malam enak hari ini.
Di jalan, bapak tidak bisa berhenti menatap dengan bahagia bungkusan yang berisi sebuah ponsel cerdas yang diidamkan anaknya itu. Bapak bahagia. Bapak sangat bahagia, karena sudah menepati janjinya dengan Andin.  Tapi, dengan secepat kilat, hanya dengan beberapa detik saja setelah itu, tubuh bapak terpental karena ditabrak sebuah mobil dari belakang.
Darah segar mengalir dari kepalanya akibat terbentur trotoar. Tapi, entah karena bapak adalah orang yang kuat atau apa, bapak masih tersadar.
`          
Bapak masih bisa melihat orang-orang berkerumun. Bapak masih bisa melihat dengan samar bungkusan ponsel baru punya Andin yang tergeletak di sampingnya.
Tiba-tiba, seorang pemuda datang menghampiri bapak, di saat yang lain hanya menonton sambil menunggu ambulance dan polisi datang.
“Pak, bapak... bapak... bapak masih hidup? Bapak masih sadar?” tanya pemuda itu cemas.
Di sisa kesadaran yang ada, bapak berkata, “Nak, tolongin saya... tolong... berikan....” Belum selesai bapak bicara, bapak langsung tak sadarkan diri.
Pemuda itu panik, “Pak bangun, Pak. Saya Deni, Pak. Pak, bangun!!!”

[R.A]- [Bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar

Menu :