Minggu, 12 Maret 2017

Handphone Baru Dari Bapak -Part II



“Bapak!”Andin masuk ke dalam rumah dan langsung mencari bapaknya yang saat itu sedang makan sendirian di dapur.
“Ada apa, Nak? Kenapa teraik-teriak, ini sudah malam. Kamu dari mana?” tanya bapaknya lembut.
“Udahlah, aku dari mana itu enggak penting, bukan urusan bapak juga! Yang penting sekarang, aku mau beli HP baru!”
“Loh, kok tiba-tiba mau beli HP baru. HP kamu saja itu masih bagus, masih bisa digunakan.”
“Masih bagus apa, sih, pak? Orang udah jelek dan gembel begini, banyak lakban di mana-mana, enggak ada kameranya, enggak bisa internetan, cuma bisa nelpon sama sms doang. Aku tuh pengen punya HP bagus, Pak. Kayak temen-temen aku!”
Bapak menenggak segelas air putih lebih dulu, lalu berkata, “Tapi bapak enggak punya uang, mau beli HP uangnya dari mana, Nak?”
“Ya bapak kan kerja, masa iya enggak punya uang sama sekali!” kata Andin sambil berjalan keluar dari dapur menuju ruang tengah dan duduk di sofa dengan tangan yang dilipat di depan dada.

Sumber Gambar

Bapak pun menyusul anak gadisnya itu ke ruang tengah. “Bapak cuma tukang becak, kamu tahu itu, Nak. Penghasilan bapak sudah bisa buat makan pun, bapak sudah bersyukur. Itupun bapak tabung sebagian untuk biaya sekolah kamu.”
“Ya makanya bapak cari kerja lain kek, jangan cuma jadi tukang becak!” kata Andin. “Aku tuh capek tahu nggak sih, Pak! Aku tuh sebenernya capek hidup miskin kayak gini. Aku capek hidup sama bapak! Gara-gara bapak miskin aku sering dihina temen-temen aku, gara-gara bapak miskin, aku enggak bisa kayak temen-temen aku!”
Tanpa Andin sadari, bapaknya hanya bisa mendengarkan segala keluh kesahnya itu sambil sesekali mengelus dadanya, bersusah payah menahan air matanya, meskipun setetes dua tetes berhasil lolos membasahi pipinya. Tapi, dengan cepat bapak mengusapnya.
“Dan satu lagi, ya, Pak! Gara-gara bapak miskin, ibu jadi meninggal karena bapak enggak bisa biayain pengobatannya! Semuanya itu gara-gara bapak!” kata Andin. “Percuma aku punya bapak, kalau hidup aku selalu miskin kayak gini! lebih baik aku itu nggak punya bapak!”

Andin tidak tahu, dibalik keriput wajah bapaknya, tersimpan sebuah kesedihan mendalam. Bapak ingin menangis, tapi rasanya bapak sudah tidak pantas untuk menangis.
Andin tidak sadar, walaupun bapak hanya tukang becak, tapi bapak bisa membiayai sekolahnya dari SD. Dari kedua kaki yang tadinya kuat dan tegak, sampai sekarang sudah renta dan bahkan rasa nyeri sering melanda urat-urat kakinya karena bertahun-tahun ia mengayuh becaknya. Tapi, bapak tidak pernah menyalahkan Andin. Bapak tidak pernah merasa bahwa biaya sekolah dan kebutuhan Andin selama ini adalah beban untuknya.
Dan satu lagi, bapak melakukan itu semua tanpa pamrih.

Bapak tidak pernah menyuru Andin menyuci pakaiannya. Bapak tidak pernah menyuru Andin membereskan rumah. Bapak tidak pernah menyuru Andin mencari nafkah untuk membantu keuangan mereka. Yang bapak inginkan hanya satu. Tugas Andin hanya belajar. Supaya kelak, Andin menjadi orang yang seribu kali lebih baik dari bapak. Tapi Andin, malah menyalahkan bapak atas semua masalah hidupnya. Andin seharusnya tahu kalau bapak selama ini sedih. Tapi dia memilih untuk diam dan berusaha agar Andin tidak tahu kesedihannya.

[.]

Hari ini hari Senin. Seharusnya pagi ini Andin sudah sarapan dan bersiap berangkat sekolah. Namun, hari sudah semakin siang, Andin belum keluar juga dari kamarnya. Padahal, bapak sudah menyiapkan sarapan.Bapak pun memutuskan untuk menghampiri Andin di kamarnya.
 “Andin, ini sudah siang lho. Kamu enggak sekolah, Nak?” panggil bapak, sambil mengetuk pintu kamar Andin.Tidak ada jawaban dari dalam, sehingga bapak kembali mengetuk pintu dan memanggil, “Andin, kamu belum bangun, ya, Nak?”Tidak ada jawaban juga, akhirnya bapak memutuskan untuk masuk ke dalam. Dan ternyata, Andin memang belum bangun.
“Andin, kamu enggak sekolah, Nak?” tanya bapak, sambil menepuk bahu Andin.
“Duh, bapak ganggu aja deh! Aku enggak mau sekolah, kalau bapak enggak mau beliin HP baru!” jawab Andin ketus.
“Masya allah Andin, bapak harus gimana, bapak enggak punya uang, Nak.”
“Aku enggak peduli, Pak! Pokoknya aku itu enggak mau sekolah sebelum bapak janji mau beliin HP baru!”
“Bapak harus janji supaya kamu mau sekolah, begitu Nak?”
Andin menyingkap selimutnya sampai perut.
“Iya! Bapak harus janji! Tapi enggak cuma janji aja, bapak harus bener-bener beliin aku HP baru yang bagus!”
Bapak terdiam sejenak. Dahi keriputnya berkerut terlihat sedang berpikir. Sedetik kemudian, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Bapak tersenyum. “Iya, Nak, bapak janji akan beliin kamu HP baru. Tapi kamu harus sekolah ya, Nak?”

 [.]

Sejak saat itu, bapak mulai bersusah payah mengumpulkan uang untuk membelikan Andin ponsel baru. Sekarang, bapak tidak hanya bekerja sebagai tukang becak saja, tapi berbagai pekerjaan kini ia lakukan, yang penting halal dan hasilnya bisa ia tabung.
Pagi sampai jam sebelas bapak narik becak, lalu dari jam satu sampai jam lima sore, bapak menjajakan air mineral keliling di jalanan besar, atau di terminal. Dan dari jam tujuh sampai jam sepuluh malam, bapak menjadi tukang parkir di sebuah supermarket.
Semua pekerjaan itu telah bapak jalani selama tiga bulan terakhir ini. Dan karena bapak sering pulang malam, kini kesehatan bapak mulai menurun. Bapak jadi sering batuk-batuk dan merasakan sakit kepala yang hebat. Selain itu, Andin juga jadi sering memarahi bapak, karena saat dia pulang ke rumah, tidak pernah ada makan malam lagi seperti biasa.
Malam itu, bapak pulang dalam keadaan batuk-batuk. Saat bapak masuk ke rumah, di dalam Andin sedang menonton TV sambil nyemil makanan ringan yang bungkusnya berserakan ke lantai.
“Anak bapak kok belum tidur, Nak?” tanya bapak, sambil berjalan menuju dapur ingin mengambil segelas air minum. Andin mengangkat punggungnya dari sandaran, lalu duduk tegak. Sambil melempar bungkus makanan ringan terakhirnya, Andin berkata dengan ketus, “Gimana bisa tidur coba, kalau aku aja belum makan dari siang.”
Bapak kembali dari dapur, lalu berjalan mendekati Andin sambil terbatuk, “kenapa belum makan? Bapak kan sudah sediakan telur, Nak.”
“Bapak, aku tuh bosen makan sama telur terus. Lagian, bapak ke mana aja, sih, setiap hari pulangnya malem terus?” kata Andin, lalu dia berdiri. “Bapak capek ngurusin aku?”
“Ya Allah, Nak, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Bapak tidak pernah sekalipun capek mengurus kamu,” kata Bapak pelan dan sesekali terbatuk. “Bapak pulang malam  setiap hari, karena bapak harus kerja, Nak. Kamu kan tahu sendiri, bapak sudah janji mau beliin kamu HP baru.”
“Alah, jangan sok ungkit janji itu lagi, deh, Pak. Ini tuh udah tiga bulan, Pak. Tapi  mana? Bapak belum juga beliin aku HP baru,” kata Andin ketus, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Sabar, Andin. Bapak janji, bapak akan belikan kamu HP baru. Tapi bapak kumpulkan uangnya dulu, kamu bisa kan bersabar?”
“Jadi bapak beneran akan menepati janji bapak?” tanya Andin. Bapak mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, Nak. Bapak janji.”
“Kalau gitu, aku kasih bapak waktu dua minggu lagi untuk menepati janji bapak,” kata Andin.
Bapak mengernyit tidak percaya. Kedua bola matanya menatap Andin dengan sendu. Seulas senyumnya menghilang detik itu juga.“Kalau dalam waktu dua minggu, bapak enggak bisa belikan aku HP baru, aku akan berhenti sekolah, Pak. Karena percuma aku sekolah. Aku malu. Temen-temen selalu hina aku. Selalu bilang aku enggak modal lah, minjem HP dia terus lah. Bapak tega lihat aku dihina terus seperti itu?”
Bapak terdiam.


[R.A]- [Bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar

Menu :