“Anak-anak,
kalian kerjakan halaman 31, ya! Kalau ada jawaban yang tidak ada di buku,
kalian boleh searching di internet, dan jangan berisik! Kerjakan
sendiri-sendiri,” jelas Bu Hera. “Iya,
Bu,” jawab seluruh murid kelas X-5 bersamaan. Di saat yang lain sibuk
mengerjakan soal yang ada di buku, dengan mencari jawabannya dari ponsel pintar
mereka masing-masing. Andin justru hanya terdiam. Kepalanya menunduk ke bawah,
memandangi ponsel miliknya dengan iba. “Gimana
gue bisa searching, HP gue aja jelek begini, enggak ada internetnya,” katanya
dalam hati.
“Andin?”
Andin menoleh kepada teman sebangku yang
memanggilnya, “Iya?”
“Lo
kenapa? Kok enggak ngerjain?”
“Hm...
enggak apa-apa, kok,” jawab Andin. “Oh iya, Mir. Gue boleh pinjem HP lo?”
“Emangnya
HP lo ke mana?” tanya Mira.
“Gue
enggak bawa HP hari ini,” jawab Andin bohong.
“Oh
gitu... yaudah nih, pakai aja,” kata Mira sambil
menyerahkan ponselnya pada Andin.
Andin menerima ponsel itu. “Makasih, Mir.”
Ketika ponsel milik Mira sudah berada di tangannya,
Andin memandangi ponsel itu dengan kagum. Ini adalah kali pertama dia memegang
ponsel pintar berharga selangit milik Mira, setelah dua bulan mereka menjadi
teman sebangku. “HP-nya
Mira bagus banget, sih. Gue jadi pengen punya HP kayak gini. Tapi ... kalau gue
minta HP baru, Bapak mau beliin enggak, ya?” batinnya.
[.]
“Andin!” Andin
sedang berjalan sepulang sekolah, ketika seseorang memanggil dari arah
belakang. Dia pun menoleh dan mendapati Deni sedang berjalan ke arahnya. Mereka
berdua satu sekolah, hanya saja beda kelas.
“Deni?
Ada apa?” tanya Andin pada teman dari SMPnya itu.
“Besok
Sabtu sore dateng ya ke acara ultah gue, di Cafe Heaven depan sekolah itu, lo
tahu kan?” jawab Deni.
“Oh
iya gue tahu, kok,” kata Andin. “Sori ya, Den, gue sih pengen banget dateng, tapi enggak bisa kasih
apa-apa, lo tahu sendirilah kenapa.”
Deni tersenyum. “Lo enggak usah bawa apa-apa, Ndin. Lo
dateng aja gue udah seneng.”
“Ya
ampun, Den. Gue jadi enggak enak, deh,” kata
Andin. “Oke kalau gitu, gue bakal
dateng,” lanjutnya sambil tersenyum juga.
Besoknya, Andin sudah
bersiap untuk pergi ke acara ulang tahun Deni di Cafe Heaven depan sekolah. Dia
naik angkutan umum untuk menuju tempat tersebut.
Dengan dress biru dongker selutut
yang sudah terjahit di mana-mana, tatanan rambut yang hanya dijepit, juga
sendal jepit biru yang sudah lusuh, Andin memasuki Cafe itu. Di dalam, dia
langsung disambut oleh Deni.
Deni mempersilakan
Andin untuk duduk di antara teman-temannya yang lain.
Begitu Andin berjalan menuju
kursinya, teman-teman perempuan Deni banyak yang melirik Andin dengan tatapan
seperti, “Ini cewek gembel dari mana?”
Tapi sebaliknya, Andin justru merasa minder berada di antara teman-teman Deni
yang notabene nya orang kaya semua. Di tempat ini, yang membuat Andin merasa
iri adalah ponsel yang mereka gunakan. Ponsel pintar berharga selangit semua.
Yang jika dibandingkan, lebih mahal ponsel mereka daripada harga becak bapaknya
jika dijual.
Sementara dia? Dia
hanya menggunakan sebuah ponsel kecil. Tidak ada kamera. Tidak ada internet,
dan sudah dilakban di bagian tertentu. Di tengah-tengah acara, ketika semua
orang di pesta ini sedang asik berfoto-foto dengan ponsel mereka masing-masing,
Andin hanya bisa menyaksikan dari tempatnya. Menatap sedih ponselnya yang tidak
berguna sama sekali selain digunakan untuk menelpon dan mengirim pesan. Rasanya
Andin ingin membanting ponsel tersebut dan minta kepada bapaknya untuk
membelikannya ponsel baru yang lebih bagus. Saking kesalnya dengan
ponselnya, dia pergi ke toilet dan meninggalkan ponsel tersebut di atas meja.
Setelah beberapa saat
dia kembali, ternyata ponselnya sedang berada di tangan seorang cewek kaya
dengan ponsel tipe iphone 7 di genggamannya. “HP
siapa nih? Gila jadul banget HAHAH ini tahun 2017, masih jaman pakai HP
beginian? HAHAH,” cewek itu membuat lelucon dengan
menghina ponsel Andin kepada teman-temannya.
“Jelek
banget lagi, udah gitu banyak lakbannya. Gembel abis ini HP! Enaknya buat
nimpuk tikus ini mah HAHAH.”
Cewek itu benar-benar ingin melempar
ponsel Andin, ketika Andin berlari dan menahan tangannya. “Jangan.lempar.HP.gue!” kata Andin penuh penekanan pada cewek itu.
Cewek tersebut sedikit terkejut
karena Andin tiba-tiba mencekal tangannya. Tapi setelah itu, dia tertawa geli. “Jadi, ini HP punya lo? HAHAH, yaampun udah
gue duga, sih, sebenernya,” kata cewek itu.
“Balikin
HP gue!” seru Andin, karena cewek itu belum juga
mengembalikan ponselnya.
Bukannya mengembalikan ponsel
Andin, cewek itu justru malah mengiming-iming ponsel Andin seolah ponsel itu
adalah sebuah sampah.
“BALIKIN
HP GUE!” kali ini Andin berteriak. Suasana pun
berubah jadi hening.
“Enggak
usah teriak-teriak ke gue! Lo pikir gue mau sama HP lo yang gembel ini? Bakal
gue balikin,” kata cewek itu. “Tuh lo ambil sendiri.”
Cewek itu melempar ponsel Andin
sampai membuat Andin terperangah. Saat Andin menengok ke belakangnya, ternyata
ponselnya itu ditangkap oleh Deni.
“HP
siapa ini?” tanya Deni pada semua yang ada di sana.
Andin yang melihat hal itu pun
langsung menghampiri Deni dan merebut ponselnya.
“Ini
HP gue!”
“Andin?”
Deni kaget karena melihat Andin menangis. “Lo
kenapa?”
“Bukan
urusan lo!” setelah berkata begitu, Andin langsung
berlalu pergi dari tempat itu.
[R.A]- (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar