Hari berjalan semakin
cepat. Hingga pada akhrinya, bapak tiba di hari ini. Hari ke empat belas. Hari
terakhir yang Andin berikan pada bapak untuk menepati janjinya.
Dan siang ini, tepat jam sebelas,
bapak pulang ke rumah setelah narik becak dari pagi. Bapak memasuki kamarnya,
lalu ia mengambil lima buah celengan ayamnya, celengan yang berisi hasil kerja
bapak selama hampir empat bulan ini.
Bapak memecahkan kelima celengan
tersebut. Sebenarnya, tiga celengan lainnya adalah tabungan untuk biaya sekolah
Andin. Tapi, ia berpikir kalau uang itu bisa ia cari lagi, yang penting
sekarang Andin harus melanjutkan sekolahnya dulu. Bapak tidak mau Andin
berhenti sekolah hanya karena ia ingin ponsel baru. Bapak sedikit sedih,
saat melihat bahwa isi kelima celengannya itu. Bapak menghembuskan napasnya
panjang. Ia berusaha untuk yakin kalau semua uang tersebut cukup untuk membeli
ponsel baru untuk Andin. Lalu, bapak mengumpulkan dan menyusun uang itu jadi
satu.
Karena
saking semangatnya, ingin cepat-cepat membelikan Andin ponsel baru, bapak
langsung membawa uang itu ke toko ponsel tanpa dihitung terlebih dulu.Tapi
sayangnya, toko ponsel letaknya jauh dari rumah. Dan dari pada uangnya bapak
pakai untuk ongkos, bapak memilih untuk jalan kaki menuju tempat tersebut.
[.]
Bapak tiba di sebuah
toko ponsel besar di suatu pasar swalayan, setelah jalan kaki selama satu jam
lebih. “Permisi mbak,” sapa bapak
pada mbak penjaga toko.
Mbak itu menghampiri bapak, lalu
berkata dengan ramah, “Iya, bapak. Ada
apa, ya?”
Bapak tersenyum tipis, sambil
melihati beberapa ponsel di etalase yang bapak yakini pasti Andin suka dengan
ponsel itu.
“Saya
mau beli HP yang bagus... ada internetnya... terus juga ada kameranya, Mbak.
Buat anak saya,” kata bapak pelan, sambil
tersenyum.
“Oh
begitu ya, Pak,” kata mbak penjaga toko. “Sebentar ya, Pak. Saya ambilkan lebih
dulu.” Mbak
penjaga toko mengambilkan sebuah ponsel pintar yang harganya paling murah di
toko itu. Lalu ia meletakkannya di atas etalase dan menunjukkannya pada bapak.
“Seperti
ini, Pak?”
Bapak melihat ponsel yang masih
terbungkus plastik dengan mata yang berbinar.
“Bagus ya, Mbak. Anak saya pasti suka.
Ada kameranya juga,” kata bapak. “tapi,
kira-kira harganya berapa, mbak?”
Mbak itu menatap bapak
dengan tatapan tidak tega kalau harus memberitahu harga ponsel tersebut. Melihat
kondisi bapak yang sangat menampilkan keadaan orang-orang tidak mampu. Tapi,
mau tidak mau, bapak harus tahu harganya.
“Ini
harganya delapan ratus lima puluh ribu, Pak,”
jawab mbak penjaga toko. “memangnya kalau
boleh tahu, bapak punya uangnya berapa?”
Bapak mengeluarkan sebuah kantung
plastik hitam dari saku celananya. Dia menumpahkan seluruh isi kantung plastik
hitam itu di atas etalase.
Mbak
penjaga toko itu sampai menelan ludahnya melihat apa yang baru saja bapak
tumpahkan dari kantung plastik hitam itu.
“Ini
uang saya, Mbak. Belum saya hitung,” kata bapak
lirih. “Kira-kira cukup tidak ya, mbak?”
Mbak penjaga toko malah terdiam
menatap kepingan-kepingan uang logam, lembaran-lembaran dua ribuan dan beberapa
lembaran uang lima ribu di atas etalase itu. Sesekali mbak itu menatap bapak,
yang saat itu sedang melihati ponsel seharga delapan ratus lima puluh ribu itu
dengan penuh harap.
“Pak...”panggil
mbak penjaga toko pelan. “Kenapa bapak
ingin sekali membeli HP ini?”
“Anak
saya ingin sekali punya HP baru, Mbak.”
“Memangnya
kenapa kalau tidak bapak belikan?”
“Nanti,
dia tidak mau sekolah. Jadi saya harus nurutin apa mau dia,”
jawab bapak.
Mbak penjaga toko itu
menutupi hidung dan mulutnya dengan telapak tangan. Kedua matanya tanpa sadar
sudah berair. Dia terharu. Hatinya teriris melihat dan mendengar apa yang
terjadi dengan pria tua yang berusaha untuk memenuhi keinginan anaknya.
Meskipun, dia tahu, kalau dia tidak mampu. Tapi dia tetap yakin, dia bisa.
“Sebentar
ya, Pak,” kata mbak itu. “Saya bantu hitung uang bapak.”
Mbak penjaga toko itupun mulai
meraih lembaran demi lembaran uang dua ribu dan
lima ribuan itu untuk dihitung, sambil berusaha untuk menahan agar dia
tidak menumpahkan rasa ibanya saat itu juga.
Setelah lebih dari tiga puluh menit
menghitung uang bapak, yang ternyata hanya berjumlah lima ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus rupiah itu,
mbak penjaga toko terdiam sejenak.
“Bagaimana,
mbak? Uang saya cukup?” tanya bapak lirih.
“Pak...
kalau bapak tidak membelikan HP-nya sekarang, apa reaksi anak bapak nanti?’
Gurat wajah bapak berubah sendu, “Dia pasti akan marah sama saya, tapi itu
tidak masalah buat saya, Mbak. Saya cuma tidak
mau dia berhenti sekolah. Tapi... kalau memang uang saya tidak cukup
sekarang, tidak apa-apa, mbak. Saya mengerti.”
Mbak penjaga toko menggeleng pelan.
“Uang bapak cukup, kok,” katanya
bohong. “Bapak bisa bawa pulang HP ini,
dan berikan pada anak bapak, ya. Semoga anak bapak bisa senang ya, karena punya
bapak hebat yang bisa menuruti apa yang dia mau.”
Dengan senyum yang mengembang,
bapak menerima ponsel baru tersebut yang telah dikemas oleh mbak penjaga toko
itu. “Terima kasih banyak, mbak. Terima
kasih,” kata bapak haru.
Bapak senang sekali
rasanya. Sampai dia ingin menangis bahagia. Bapak sudah tidak sabar untuk
pulang, dan memberikan ponsel baru ini pada Andin. Andin pasti senang. Bapak
juga tidak sabar melihat kebahagiaan Andin saat tahu bapaknya sudah beli ponsel
baru untuknya. Bapak pulang ke rumah
dengan jalan kaki lagi. Karena ia pikir, ongkosnya pulang ke rumah lebih baik untuk
membelikan anaknya makan malam enak hari ini.
Di jalan, bapak tidak bisa berhenti
menatap dengan bahagia bungkusan yang berisi sebuah ponsel cerdas yang
diidamkan anaknya itu. Bapak bahagia. Bapak sangat bahagia, karena sudah menepati
janjinya dengan Andin. Tapi, dengan secepat
kilat, hanya dengan beberapa detik saja setelah itu, tubuh bapak terpental
karena ditabrak sebuah mobil dari belakang.
Darah segar mengalir dari kepalanya
akibat terbentur trotoar. Tapi, entah karena bapak adalah orang yang kuat atau
apa, bapak masih tersadar.
`
Bapak masih bisa
melihat orang-orang berkerumun. Bapak masih bisa melihat dengan samar bungkusan
ponsel baru punya Andin yang tergeletak di sampingnya.
Tiba-tiba, seorang pemuda datang
menghampiri bapak, di saat yang lain hanya menonton sambil menunggu ambulance
dan polisi datang.
“Pak,
bapak... bapak... bapak masih hidup? Bapak masih sadar?”
tanya pemuda itu cemas.
Di sisa kesadaran yang ada, bapak
berkata, “Nak, tolongin saya... tolong...
berikan....” Belum
selesai bapak bicara, bapak langsung tak sadarkan diri.
Pemuda itu panik, “Pak bangun, Pak. Saya Deni, Pak. Pak,
bangun!!!”
[R.A]- [Bersambung]