Aku pikir awalnya jarak dan waktu tidak akan membuat hubungan
kami bermasalah. Ya, hubungan tanpa status yang kujalani dengan Bagas selama
hampir enam tahun ini. Nyatanya, ia hilang tanpa kabar setelah mengatakan jika
ia sedang sibuk menyusun skripsi dan dia juga berkata… ingin menenangkan
pikiran dulu -yang artinya adalah tidak ingin diganggu dengan hubungannya
denganku dulu. Aku pikir waktu itu, mungkin benar juga, lebih baik tidak
contact terlebih dulu. Saat itu aku pun sedang sibuk dengan pekerjaanku dan
great something. Itu, sekitar tujuh bulan yang lalu. Namun, lama aku menyadari,
jika aneh rasanya Bagas tidak ada sekalipun memberiku kabar. Aku merasa ia
menyembunyikan sesuatu dariku.
Beberapa minggu lalu, aku iseng bertanya melalui chat pada
temanku -Mbak Nadin- yang satu kampus dengan Bagas di fakultas kedokteran. Aku
bertanya: Apa Bagas sedang dekat dengan gadis di sana? Mbak Nadin menjawab jika
ia mendengar gossip kalau Bagas menyukai anak fakultas kebidanan bernama
Mufaisha. Gadis idola di kampus mereka karena cantik dan kesalihannya. Mufaisha
adalah anak yatim dari keluarga sederhana dan karena, kecerdasannyalah ia
mendapat beasiswa untuk mengenyam bangku kuliah.
Sontak setelah itu aku membandingkan Mufaisha dengan diriku
sendiri. Seperti besi dengan intan permata. Berbeda jauh. Jelas saja, Bagas
akan memilih Mufaisha.
Kabar lain yang kudapat adalah perubahan Bagas yang lebih
baik. Lebih baik di sini adalah perilaku Bagas jadi lebih alim. Aku
menyimpulkan, Bagas berubah untuk bisa bersanding dengan Mufaisha.
Perempuan
baik teruntuk pria baik juga, benar kan?
Aku menghela napas kasar seraya melempar kerikil di
genggamanku ke tengah-tengah laut.
Aku menoleh
menatap Risma. “Tumben ngajak main ke pantai, Ris? Kamu emang nggak sibuk? Udah
ijin sama mas Akbar?”
Perempuan
berjilbab lebar warna coklat itu menyunggingkan senyumnya yang hangat. “Malah,
mas Akbar semangat banget buat ngizinin aku keluar sama kamu. Supaya kamu nggak
setres, katanya” Risma tertawa pelan.
Aku menatap Risma tajam. Lalu berikutnya, aku mendapati
perempuan itu nyengir lucu.
“Aku kangen
sama kamu sekalian refreshing gitu. Aku mau dengerin curhatan kamu plus ngasih
wejangan lagi buat kamu,” lanjut Risma penuh nasehat dan canda.
Ah, Risma
memang sahabatku yang paling mengerti.
Melihatnya dengan jilbab anggunnya itu, aku berpikir, kapan
aku akan menyusul jejaknya? Apa Bagas akan kembali padaku jika aku memakai
jilbab, memperbaiki sifat manjaku dan sifat-sifat burukku yang lain? Ugh, tapi
untuk saat ini aku belum berniat sama sekali menutup aurat.
Aku mendekat padanya dan memeluk dari samping. Lantas
menggumam di dekatnya, “kamu beruntung ya, Ris. Impian kamu dari dulu udah
terwujud; punya suami yang saleh dan bisa bimbing kamu meraih surgamu.”
“Dulu malah,
aku yang beranggapan kamu yang beruntung dibanding aku, Ndai,” ujar Risma,
tangannya bergerak menepuk pipiku pelan, perlahan tangannya bergerak mengusap
rambut sebahuku. “Kapan kamu mau menutup aurat? Ayo, Ndai berjuang sama-sama di
jalan Allah sama aku. Aku nggak mau kamu nyesal di lain hari.”
Aku
mendengus kecil. Aku berjalan agak menjauh dari Risma lalu menatap langit.
Jujur mataku berkaca-kaca saat ini. Entahlah kenapa masih ada sedikit ragu di
hatiku.
Risma menepuk pundakku dari belakang. Ia menghela nafas lalu
berucap, “kamu tau kan, Ndai, kalau menutup aurat itu diwajibkan. Dulu … kamu
pernah bilang padaku ‘kan, setelah kamu masuk Islam, kamu akan menutup aurat,
ini sudah setahun berlalu loh.”
Aku mengingat saat-saat aku mengucap dua kalimat syahadat
dulu. Rasanya cintaNya menyusup ke tulang-tulangku, menggetarkan jiwaku yang
kosong bertahun-tahun. Mengisi kekosongan hidupku yang yatim-piatu sejak kecil.
Allah telah mengisi hatiku dengan cintaNya tanpa kusadari.
Aku membalik badan, menghadap pada Risma yang saat ini
menatapku dengan berkaca-kaca. “Ak aku ragu, Ris. Aku takut nggak bisa
istiqomah.”
Risma membacakan sebuah ayat Al-Qu’an. Aku sepertinya tahu
ayat ini, ini … surat Al-Ahzab ayat 59. Ayat yang menjelaskan penting dan
wajibnya berjilbab bagi perempuan muslim.
“Wahai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka!
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Aku langsung menubrukkan tubuhku pada Risma. Memeluknya erat.
Allah, aku sudah terlalu jauh darimu. Aku berbisik lirih di dekat telinganya,
“aku mau, berhijrah kayak kamu Ris tapi, apa … Allah mau menerimaku? Mau
menerima keterlambatanku meraih keridhoanNya?”
“Jangan
meragukan kebesaran Allah, Cindai. Allah adalah sebaik-baiknya tempat kamu
meminta. Allah juga Maha Pemaaf. Asalkan kamu bersungguh-sungguh, maka
InsyaAllah, Allah akan memaafkanmu dan tidak ada kata terlambat bagi orang yang
sungguh-sungguh bertobat.”
Aku
mendongak menatapnya sendu. “Terima kasih, Ris, kamu sudah mau jadi sahabat
yang mengerti aku. Selalu mengingatkanku ketika aku salah.”
Senyum tersungging di bibir Risma. “Nah, begitu dong. Kamu
harus meniatkan diri kamu, kalau hijrah kamu ini lillahita’ala, ikhlas hanya
karena Allah semata. Bukan untuk siapapun yang lain. Ikhlaskan Bagas, Ndai.
Kalau jodoh nggak akan kemana.”
Risma mengeluarkan sebuah kain dari dalam tasnya. Saat ia
mengulurkannya padaku, baru kutahu kalau itu adalah sebuah kerudung berwarna
merah jambu. Ia mendekat dan mengenakan kerudung itu padaku. Aku tersenyum
memegang kerudung yang kini menjulur panjang di atas perutku.
Aku menatap Risma dengan mantap. “Aku akan mencoba
mengikhlaskan dia,” ucapku dengan nada suara bergetar menahan air mata. “Dengan
ini pilihanku tidak akan salah. Aku … akan meneruskan S-2 ku di Kairo.”
Risma menatapku bahagia dan menepuk lenganku yang dilapisi
jaket coklat muda. Aku bisa merasakan kebahagiannya itu dari matanya yang
menjadi pusat kejujurannya.
Sebuah salam menginterupsi pembicaraanku dengan Risma. Aku
membalikkan badan dan yang kudapati adalah Bagas dan adiknya dengan senyum
lelaki itu yang kurindukan selama ini. Hampir saja aku berlari ke arahnya untuk
memeluknya jika Risma tidak berdeham keras menyadarkanku pada kenyataan.
“Waalaikumussalam. Menatap seseorang yang berlainan jenis
dengan syahwat -rasa ingin memiliki- itu termasuk dalam zina-nya mata. Adalah
zina seburuk-buruknya jalan.”
Aku menatap
Risma malu. Baru saja aku ingin berhijrah tetapi, aku sudah hampir melakukan
kesalahan.
Aku segera
menjawab salam tadi. Wajahku kudongakkan, menatapnya lurus. “H–hai!” sapaku
dengan kaku. “Apa kabar?”
Bagas
menatap Risma sekilas lantas beralih padaku. Wajahnya terlihat sekali jika ada
yang hendak dibicarakannya. Senyumnya terbit dengan kaku. “Baik.”
“Ah!
Sepertinya kalian berdua butuh waktu untuk bicara. Melihat Bagas datang bersama
dengan adiknya, aku akan meninggalkanmu bersamanya, Ndai. Ingat jangan
melakukan hal aneh-aneh! Kau sudah berjanji padaku dan dirimu sendiri, ingat!”
Risma pergi setelah menguluk salam.
Aku memilih
duduk di bebatuan yang ‘tak jauh dari tempat semula dan Bagas serta adiknya
mengikutiku.
“Ada yang
ingin kubicarakan. Aku yakin, kamu sudah tahu dari Mbak Nadin tentang–”
Bibirku
bergetar dan tanpa sadar menyahut, “Ya, aku sudah tahu.”
“Maaf,
Ndai,” ucap Bagas. Kepalanya terangkat. Menerawang jauh ke langit. “Maaf selama
ini aku telah menjadi pengecut. Maaf telah mengkhianatimu. Hatiku yang sempit
terlalu takut menyakitimu, Ndai. Tapu, aku tidak ingin bermunafik, kalau, aku
jatuh cinta pada kesalihannya. Maaf. Aku tidak berharap kamu mau memaafkan aku
karena, aku memang tidak pantas untul dimaafkan. Maaf telah menghilang di saat
kamu butuh arahan dariku.
“Dan minggu depan … aku akan menikah. Aku harap kamu mau
datang.”
Mataku
berkaca-kaca mendengar ucapan Bagas. “Tidak apa, Gas. Aku sudah memaafkanmu. By
the way, selamat, ya. Semoga kamu bahagia dengannya. Dia memang pantas untukmu.
Aku ikhlas kamu bersamanya,” ucapku dengan senyum kaku. “Dan maaf, aku nggak
bisa datang. Jangan khawatir, do’aku selalu menyertai pernikahanmu. Do’a kan
aku pula, Gas. Supaya aku bisa lebih baik dari sebelumnya.”
Allah,
seperti inikah rasanya jatuh dari cinta yang salah? Allah, seperti inikah
rasanya menjadi orang yang terbuang? Seperti inikah rasanya mencintai dengan
cara yang salah? Tunjukkan padaku, ya Allah, jalanMu! Beri aku kesempatan untuk
rebah di pelukMu. Tunjukkan padaku, yang kata orang cintaMu lah yang
sebenar-benarnya cinta. Kekal tanpa terbatasi oleh masa. Allah, aku inginkan
cintaMu, izinkan aku berlutut menyerukan namaMu di antara cintaMu.